Quantcast
Channel: Yakub Adi's Blogs
Viewing all articles
Browse latest Browse all 25

Membaca Hukum & Kematian Makna (Refleksi atas Hermeneutika Hukum)

0
0
Membaca hukum merupakan pekerjaan yang kompleks, melibatkan seluruh aspek kehidupan si pembaca. Inilah menariknya membaca hukum, yang seolah hanya membaca namun sebenarnya sedang mentransformasi pengalaman menyejarah manusia yang berkoeksistensi.Transformasi pengalaman dalam membaca hukum menentukan arah dan kerangka berpikir menafsirkan teks hukum. Pertama, karena kata selalu tidak bermakna tunggal. Kemajemukan makna adalah kekayaan dari kata, selain memampukan kata tersebut ditempatkan pada konteks yang dikehendaki penulis. Makna kata inilah yang memungkinkan interaksi antara penulis dengan pembaca.

Interaksi antara penulis dan pembaca bisa melalui kata melahirkan penafsiran yang tidak hanya didasarkan pada pembacaan si pembaca, melainkan rekontekstualisasi dari kata yang dimaknakan. Kata yang ditorehkan adalah kontekstualisasi penulis, kemudian dibaca dan melahirkan rekontekstualisasi yang didasarkan pada penafsiran pembaca. Kedua, penafsiran bukan hanya pembacaan atas teks (kata), melainkan refleksi dari olah pikir sekaligus mentransformasikan pengalaman pembaca dengan memasuki 'dunia' penulis dalam kata yang dibaca.

Hukum yang bermuatan nilai terbungkus dalam kaedah (hukum) menjadi pengatur perilaku individu. Membaca hukum berarti menggali nilai yang terkandung dalam bunyi pasal, mencari makna dari teks (menafsirkan) dan menerapkan pada situasi tertentu (rekontekstualisasi). Ketiga tindakan yang simultan dilakukan bersanding dengan transformasi pengalaman menyejarah pembaca. Pengalaman menyejarah ini bukan yang utama dalam membaca hukum, namun mempengaruhi pembacaan hukum. Persandingan inilah sebenarnya terjadi 'pertempuran intrinsik' pembaca, sebelum kemudian melahirkan pemaknaan atas teks yang dibaca.

Pertempuran intrinsic ini berada diranah bawah sadar, mengalir sampai muncul di pikiran bertemu dengan rasionalitas. Membaca hukum tidak sekedar berpikir, namun mempertemukan pengalaman dan pengalaman inilah yang memngaruhi penafsiran sebuah teks. Sehingga pada awalnya, membaca hukum adalah pertempuran nilai, yaitu nilai hukum yang ditetapkan dengan nilai individu yang dianut. Pertemuan inilah yang melahirkan corak penafsiran yang bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan tidak menutup kemungkinan, ketika nilai individu yang dianut sama maka akan menghasilkan penafsiran yang sama pula.

Pertanyaannya adalah apakah nilai hukum bermakna tunggal? Ataukah nilai hukum bermakna jamak dan ditentukan oleh referensi pribadi yang menafsirkan. Sehingga didalam membaca hukum, memaknai nilai hukum menjadi penting bahkan pondasi bagi penafsiran atas kaidah hukum. Apabila nilai hukum adalah keadilan maka arti nilai hukum adalah tunggal, namun arti keadilan sendiri tidak tunggal. Ketidaktunggalan makna keadilan inilah yang memperkaya tafsir atas nilai hukum itu sendiri, termasuk hasil penafsiran atas bunyi teks dalam pasal.

Kematian makna
Mungkinkah makna mengalami kematian ketika teks selalu dibaca dan ditafsirkan? Makna akan mengalami titik ajalnya apabila membaca teks tidak melahirkan pemaknaan baru atau rekontekstualisasi dari makna awal saat teks tersebut dituliskan. Kematian makna didahului dengan kemandegkan tafsir. Tafsir teks yang 'jalan ditempat' akan mengerdilkan teks itu, karena makna yang ajeg. Padahal situasi yang menjadi konteks dari makna tersebut mengalami perubahan (atau perkembangan).

Masyarakat mengalami perubahan. Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna. Kematian makna atas teks hukum akhirnya akan menggiring pada kematian hukum itu sendiri. Dengan asumsi diatas bahwa membaca hukum adalah interaksi maka ketika makna yang dihasilkan ajeg maka sudah tidak terjadi interaksi lagi antara hukum dan masyarakat melalui pembacanya (pengemban hukum).

Dalam situasi demikian hukum mengalami alienasi. Keterasingan hukum dari masyarakat, sekaligus kegagalan pembaca melakukan rekontekstualisasi teks. Hukum yang terasing dari masyarakatnya akan menjadi hukum yang menjadi penghukum semata, tidak berhasil menjadi inspirator perubahan yang menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum yang terasing akan 'mimpes' atau menyusut baik dari sisi maknanya maupun keberlakuannya. Inilah kematian hukum. Ketika hukum sudah tidak lagi bisa dimaknakan dan keberlakuannya hanya sekedar menjadi penghukum dari perilaku masyarakatnya, hukum menjadi arogan dan otoriter.


Hukum yang demikian harus dijungkalkan. Penjungkalan ini dilakukan dengan kembali menginteraksikan hukum dengan kenyataan. Kalau tidak membuat hukum baru, maka menghidupkan hukum dengan penafsiran yang memperkaya makna dari teks. Apabila dilakukan maka akan disematkan tindakan demikian sebagai langkah revolusi, padahal tindakan tersebut bukan langkah revolusi hanya menafaskan teks dengan makna yang responsive dan progresif. Ini bukan langkah revolusi, hanya mengembalikan hukum kepada kedinamisannya. Yaitu membaca hukum dengan melibatkan interaksinya dengan situasi dimana hukum akan diterapkan. Dalam hal ini pengemban hukum harus memiliki kekayaan pengalaman menyejarah.


Pengalaman menyejarah dapat membantu membaca hukum. Membaca yang tidak sekedar mengeja, melainkan memberi makna kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. Membaca hukum adalah membaca masyarakat dengan menggali (kembali) dan mempertemukan antara nilai hukum dengan nilai-nilai yang masih dianut  oleh masyarakat. Hukum ada untuk mengatur masyarakat, sehingga pembacaan hukum adalah membaca melalui kacamata masyarakat berdasarkan pengalaman (hidup) pembaca. Dalam kerangka demikian, dimungkinkan membaca hukum dengan empati. Membaca dengan rasa. Membaca dengan melibatkan seluruh pengalaman menyejarah dapat menghidupkan hukum dan mendekatkan pada nilai keadilan.


 

.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 25

Latest Images

Trending Articles